Rivalitas sengit antara Juventus dan Torino tercurah sempurna dalam derby tertua di sepakbola Italia, Derby della Mole!

0 komentar


Derby della Mole yang juga memiliki nama sederhana, Derby Turin, jelas kalah pamor jika kita membandingkannya dengan Derby della Madonnina (AC Milan - FC Internazionle), Derby della Capitale (AS Roma - SS Lazio), atau bahkan Derby D'Italia (Juventus - FC Internazionale).

Hal itu terjadi karena kondisi timpang yang dimiliki Juve dan Torino sebagai pelakunya, nyaris dalam seabad terakhir. Jika I Bianconeri begitu perkasa di Serie A dengan koleksi 32 gelar scudetto, maka Il Toro selalu menghuni tempat medioker, meski sempat merasakan tujuh scudetto.

Namun jangan Anda sangsikan pertarungan ketat yang siap tersaji, jika keduanya bertemu. Pada momen itu, terkadang Anda tak bisa menilai perbedaan kelas yang jadi jurang pemisah Juve dan Torino. Semuanya terjadi berkat sejarah dan rivalitas panjang derby tertua di sepakbola Italia tersebut.


                           Bangunan Mole Antonelliana, asal mula nama Derby Della Mole

Sebelum Juventus dan Torino berdiri, setidaknya ada beberapa klub yang mengawali derby di kota Turin dalam kompetisi sepakbola Negeri Pizza. Mereka adalah Torinese, Ginnastica Torino, serta Internazionale Torino. Dan ketika Juve lahir pada tahun 1897, Si Nyonya Tua memulai derby dengan klub-klub perserikatan sebelum Torino, yakni Football Club Torinese Ginnastica, Audace Torino dan Pastore Torino.

Semuanya berlangsung seperti itu hingga akhirnya terjadi perpecahan dalam manajemen Juve pada tahun 1906. Presiden klub kala itu, Alfredo Dick, yang juga merupakan penyandang dana terbesar tidak sejalan dengan mayoritas pengurus tim pimpinannya, menyoal berbagai kebijakan. 

Dick lantas murka dan memilih untuk menyingkir dari Juve, yang kemudian membentuk tim baru untuk jadi pesaing. Bersama beberapa pengikut loyalnya, ia mempersatukan segala perserikatan klub di kota Turin, yang kemudian melahirkan Football Club Torinese, atau yang lebih dikenal dengan nama Torino di akhir 1906.

Sejak saat itu Juve hanya memiliki satu lawan saja di Turin, yakni Torino. Langsung mentas di kasta tertinggi kompetisi sepakbola Italia, derby perdana melawan Juve juga tersaji pada 13 Januari 1907. Hasilnya? Mengejutkan! Dengan permainan yang penuh kengototan, Torino unggul 2-1.

Berita menggemparkan itu langsung tersebar ke seantero Turin, hingga media menyebut Torino adalah wujud balas dendam Dick. Dan beberapa waktu kemudian, persaingan ketat yang tersaji di dalam maupun luar lapangan mengilhami publik Turin untuk menjuluki duel tersebut sebagai Derby della Mole. Nama itu lahir dari sebuah museum klasik yang jadi simbol arsitektur kota Turin, Mole Antonelliana.


                                 Tragedi Superga, jadi titik kejatuhan Torino hingga kini

Berkiprah di kompetisi yang lebih kompetitif pada periode 1940 hingga 1950, revolusi industrial Eropa mulai membedakan kelompok suporter Juve dan Torino. Jika La Vecchia Signora didukung oleh para kaum borjuis di Turin -- mengingat sang pemilik, keluarga Agnelli, adalah pendiri FIAT -- maka kaum proletar selalu identik dengan Il Granata.

Di masa tersebut Torino jauh lebih superior ketimbang Juve. Bagaimana tidak, era Il Grande Torino kala itu sukses melahirkan lima gelar scudetto, dimulai sejak musim 1942/43 hingga 1948/49. Di masa itu Juve hanya diberi tiga kemenangan dari 16 pertemuan, hingga tragedi Superga menerpa Torino pada 1949.

Seluruh penggawa utama Torino tewas dalam tragedi tersebut, termasuk pemain terbaik Italia, Vito Mazzola, yang juga ayah dari Sandro Mazzola. Sejak saat itu, Torino benar-benar jatuh tanpa bisa bangkit lagi. Satu tragedi kemanusiaan yang amat buruk bagi persepakbolaan Italia bahkan Eropa, tapi tidak bagi Juventini.

Berakhirnya era Il Grande Torino menandai dimulainya dominasi mutlak Juve. Kegembiraan para Juventini akan fakta tersebut kemudian dicurahkan ke dalam chants yang berjudul "Solo Superga Vi Ha Fatto Storia", yang berarti "Hanya [tragedi] Superga yang jadi sejarah kalian!"

Dan ketika pertandingan derby tiba, mereka bernyanyi, menirukan gaya pesawat, dan bergoyang kesana kemari, lalu sama-sama berteriak "Boom! Superga!"

Hanya kemurkaan yang hadir dari para tifosi Torino, saat Juventini menyanyikan chants tersebutSejak saat itu pula para tifosi garis keras Juve selalu memanggil tifosi Il Toro, dengan sebutan "inferior" atau "minor". Tak heran jika kerusuhan lebih kerap terjadi dalam Derby della Mole pasca tragedi tersebut.


                              Tragedi Heysel tak pernah membuat tifosi Torino berduka

Memasuki era 1960-an, genderang perang terus dilancarkan para tifosi Torino, tapi Juve hanya duduk manis dan menikmati dominasinya. Juventini pun makin bahagia ketika salah satu legenda terbesar Torino, Gigi Meroni, meninggal dunia secara mendadak pada 15 Oktober 1967.

Namun senyum itu lenyap seketika beberapa hari setelah kematian Meroni, atau tepatnya pada 22 Oktober 1967. Dalam duel putaran pertama Derby della Mole Serie A musim 1967/68, Torino secara mengejutkan sukses membantai Juve 4-0, dalam laga yang sangat emosional.

Dalam derby yang digelar di Stadion Comunale tersebut, sahabat karib Meroni, Nestor Combin, mencetakhat-trick yang dilengkapi dengan satu gol dari Alberto Carelli [yang dalam laga tersebut mengenakan jersey bernomor punggung 7 milik Meroni]. Ironisnya, selepas pertandingan sekelompok Juventini langsung melakukan tindakan yang ekstrim dengan mendatangi dan merusak makam Meroni!
Bak kutukan Meroni dari akhirat, berselang 18 tahun lamanya 39 Juventini tewas secara mengenaskan dalam tragedi Heysel, meski bayarannya adalah trofi Liga Champions. Membalas tragedi Superga, tifosi Torino tak pernah berduka atas apa yang terjadi di Heysel, Belgia. 

Mereka lalu balas dendam dan bersorak dengan chants "Terima Kasih Liverpool" serta "Berikan kami Heysel yang lain". Bahkan ada sebuah lagu dibuat dengan judul "39 di bawah tanah, hidup Inggris!"


                                      Saat Enzo Maresca menanduk 'Banteng' Torino

Meski konflik keras kedua tifosi mulai mereda di masa 1990-an, dominasi Juve atas Torino terus berlanjut dan semakin tegas. Namun begitu, situasi 'adem-ayem' itu kemudian diledakkan oleh bintang Tim Hitam-Putih, Gianluca Vialli, dengan mengantarkan klubnya menang lima gol tanpa balas atas Tim Merah Marun, pada putaran pertama Serie A musim 1994/95.

Pasca laga, tifosi Torino merusak beberapa fasilitas stadion milik bersama, Delle Alpi, dan membuat kericuhan di jalanan. Atas kejadian tersebut, para penggawa Il Granata seakan paham akan sakit hati para suporternya. Secara heroik mereka lantas membalas kekalahan tersebut di putaran kedua, dengan skor tipis 2-1. Siapa sangka jika hasil tersebut jadi kemenangan terakhir Torino atas Juve, yang masih berlaku hingga kini. 

Sayangnya karena kesulitan finansial yang berimbas pada performa buruk, mereka pun terdegradasi di akhir musim tersebut. Seketika kota Turin pun 'damai' sesaat, hingga Torino kembali mapan di musim 2001/02.

Musim itu mungkin jadi salah satu musim terbaik sepanjang sejarah Derby della Mole. Memang tak ada pemenang dalam sepasang bentrok yang tersaji, namun hamparan kualitas yang memacu adrenalin selayaknya perang derby sejati sungguh terasa.

Pada putaran pertama Juve terlihat bakal menang mudah setelah sukses meraih keunggulan 3-0 di babak pertama, via performa brilian Alessandro Del Piero. Namun secara heroik Torino bangkit dengan ganasnya, hingga sukses menyamakan keadaan menjadi 3-3 di paruh kedua! Juve sejatinya bisa menang andai penaltiMarcelo Salas di penghujung laga tak melayang ke bulan.

Di putaran kedua, duel berlangsung tak kalah seru. Dengan permainannya yang ngotot, Torino sukses unggul 2-1, lewat sang ikon klub, Marco Ferrante. Namun beberapa saat jelang laga usai, sebuah tandukan mautEnzo Maresca berhasil menembus jala Luca Bucci, untuk memaksakan hasil imbang 2-2.

Maresca lantas merayakan gol tersebut secara kontroversial dengan meniru selebrasi 'Banteng' ala Torino yang dilakukan Ferrante sebelumnya. Hal itu memancing kericuhan tifosi kedua klub, dengan perang petasan di area parkir Delle Alpi selepas laga.


                   Tekel brutal Immobile pada Tevez yang membangkitkan rivalitas duo Turin

Torino kemudian kembali terdegradasi pada 2004 dan baru kembali pada 2006. Di momen tersebut, Juve sedang berada di titik terendah akibat skandal pengaturan skor, calciopoli. Menilik fakta tersebut, tifosi Torino jelas bahagia dan mulai memanggil para Juventini dengan sebutan "Licik" atau "Mafioso" (Mafia).

Meski begitu, Torino tak juga bisa menang atas Juve sekembalinya sang saudara ke Serie A di musim 2007/08. Lebih parah lagi, mereka bahkan selalu kalah dan tak bisa mencetak sebiji gol pun hingga kini! Pamor Derby Turin pun redup selama beberapa saat, hingga aroma kebangkitan kembali tercium di musim lalu, 2013/14.

Ya, seiring dengan kegemilangan Torino menembus kompetisi Eropa, Juve dibuat kesulitan dalam dua pertemuan yang tersaji, di mana mereka hanya bisa menang tipis 1-0. Bumbu-bumbu kontroversi jadi penyedap kedua laga tersebut, sebagai pembangkit rivalitas.

Mulai dari gol Paul Pogba yang dinilai offside, tekel brutal Ciro Immobile yang disebut nyaris menamatkan karier Carlos Tevez, hingga klaim penalti Omar El Kaddouri atas pelanggaran Andrea Pirlo. Kedua klub bahkan sempat perang komentar di media sosial akibat kasus tersebut.

"Kami memang tak pandai matematika. Tapi kami bisa menghitung hingga 0, seperti angka tendangan ke gawang yang dibuat Torino!" tulis Juventus di akun resmi Twitter mereka.

Torino kemudian membalasnya dengan sindiran terhadap koleksi scudetto La Vecchia Omcidi, "Jangan hanya menghitung ke bawah. Anda berhasil menghitung sampai 31 (ops 29)," balas Torino, juga lewat Twitter.

SUMBER


Sekilas: Sejarah tifosi Juventus di italia

0 komentar

Kelompok suporter sejati Juventus yang pertama muncul di pertengahan tahun 70-an. Saat itu ada dua kelompok tifosi sayap kiri dan organisasinya masih belum bagus. Dua kelompok itu adalah Venceromos dan Autonomia Bianconera. Lalu di tahun 1976 terbentuklah 2 kelompok suporter ultras sejati Juve, Fossa Dei Campioni dan Panthers. Baru setahun kemudian kelompok tifosi ultras yang legendaris berdiri, Fighters. Kelompok ini diprakarsai oleh Beppe Rossi. Beliau merupakan tokoh yang sangat berpengaruh bagi seluruh tifosi Juve dan menjadi panutan para ultras muda di Turin.Awal era 80-an kelompok-kelompok suporter baru bermunculan. Gioventu Bianconera, Area Bianconera, dan Indians. Dua kelompok ultras yang ekstrim juga berdiri di periode ini, Viking dan Nucleo Armato Bianconero (N.A.B). Dua kelompok ini benar-benar menjadi grup tifosi yang dihormati di dalam dan di luar Delle Alpi. Viking dan N.A.B adalah kelompok yang benar-benar mengingatkan orang pada kata hooligans. Itu dikarenakan mereka tidak pernah takut bertempur dengan supporter klub manapun di dalam atau di luar stadion. Tahun 1983 kelompok Juventini yang berbeda dibentuk untuk menjalani partai tandang pertama mereka ke Eropa (Liege, Belgia tahun 1983).
Tahun 1987 kelompok tifosi bersejarah Fighters akhirnya dibubarkan setelah berjaya selama 10 tahun. Penyebabnya saat itu karena terjadi kekerasan dan perkelahian dalam partai tandang ke Florence, melawan rival Juve, Fiorentina. Sebagian besar anggota Fighters lama, bersama dengan anggota Indians dan Giuventu Bianconera, membentuk sebuah kelompok supporter ultras yang baru, Arancia Meccanica (Clockwork Orange).terinspirasi oleh film Stanley Kubrick berjudul sama yang populer saat itu.
Nama itu menimbulkan kesan kekerasan dan negatif sehingga menimbulkan banyak masalah. Karena itu kelompok ini dipaksa untuk merubah nama kelompok mereka. Para fans sepakat untuk membodohi politisi kota Turin dengan merubah nama kelompok mereka menjadi Drughi. Drughi merupakan nama geng dimana tokoh utama film Clockwork Orange, Alex, bergabung. Lucunya, para politisi Turin terlambat menyadari hal ini. Drughi pun berkembang dan menjadi kelompok supporter terpenting dalam sejarah Juventus. Dalam kurun waktu antara 1988 sampai 1996 Drughi memiliki 10.000 anggota.
La Curva Scirea
Pada tahun 1993 beberapa anggota Drughi memperoleh otonomi dan menghidupkan kembali kelompok tifosi lama, Fighters. Empat tahun setelahnya Fighters dan Drughi bersaing untuk menjadi yang terbaik di La Curva Scirea. Drughi menggantung banner mereka tepat di tengah La Curva Scirea Delle Alpi, sedangkan Fighters harus memasang banner mereka di sebelah kanannya.
Setelah Juve memenangkan Piala Champions atas Ajax tahun 1996, para supporter sangat bergembira dan memutuskan untuk berkolaborasi. Drughi, Fighters, dan beberapa kelompok kecil lainnya di La Curva Scirea memutuskan untuk bersama mendukung Juve dibawah satu nama, Black and White Fighters Gruppo Storico 1977. Nama Fighters pun memperoleh kembali kejayaan seperti awalnya tepat 20 tahun sejak kelompok supporter itu berdiri.

La Curva Nord
Di era 90-an satu lagi kelompok besar supporter terbentuk. Namanya Irriducibili Vallette. Kelompok ini mempunyai pengaruh besar di La Curva Nord Delle Alpi. Grup ini dibentuk pada 1990 oleh sebuah kelompok supporter dari Vallette Turin. Karena anggotanya banyak yang kena sanksi dan sulit bekerjasama dengan manajemen Juventus, Irriducibili dibubarkan pada akhir musim 2001/02.
Memulai musim 2002/03 direksi Juve memutuskan untuk memberikan La Curva Nord pada Centro Coordinamento Juventus Club. Ini adalah organisasi yang terdiri dari berbagai fans club resmi di Italia dan luar negeri. Lebih dari 1000 klub jumlahnya. Untuk itu manajemen bermaksud memindahkan semua kelompok ultras dari La Curva Nord, dan melarang mereka memasang banner di area itu. Proyek ini menjadi sebuah kegagalan besar bagi direksi Juventus.
La Curva Nord sekarang menjadi bagian paling sepi di Delle Alpi. Nyanyian supporter yang ada disana pun hampir tak terdengar. Tiadanya kelompok supporter yang memimpin di La Curva Nord adalah penyebabnya. Selama bertahun-tahun Juve memiliki dukungan luar biasa di dua curva yang siap mengumandangkan pujian bagi La Vecchia Signora. Merupakan hal yang langka di Italia maupun belahan dunia lainnya, dimana sebuah klub mempunyai dua basis tifosi yang berada di belakang dua gawang. Ini menciptakan atmosfer yang luar biasa bagi tim saat bertanding. Tifosi cemas akan apa yang akan terjadi kelak setelah stadion diperbarui. Apakah mereka masih bisa menempati dua curva itu atau manajemen Juventus akan meneruskan proyek gagalnya?

Irriducibili Valente sudah tidak ada lagi sejak tahun 2002. Tempat mereka sebelumnya ada di ujung lain, berhadapan dengan kelompok Fighters, yaitu di La Curva Nord. Terbentuk tahun 1990, mereka adalah kelompok supporter yang terorganisasi dengan rapi. Tahun 1998 mereka menggantikan Viking sebagai penguasa La Curva Nord. Masalah mulai timbul di awal musim 2001/02. Irriducibili mengkritik keras kepemimpinan Lippi dan hasil buruk yang diperagakan skuad Juventus awal musim itu. Akibatnya manajemen Juve menolak memberikan tiket away bagi mereka. Suasana pun semakin memanas.
Irriducibili kemudian berdamai dengan Lippi, namun masih menolak berbicara dengan klub atau vice versa. Setelah banyak masalah yang terjadi, Irriducibili Vallette pun dibubarkan. Sangat disayangkan karena mereka telah melakukan yang terbaik bagi Juventus. La Curva Nord sekarang bernama “Centro Juventus club, 1000 club per una curva”. Itu berarti kurva utara akan ditempati oleh 1000 fans klub berbeda di dalamnya.
Irriducibili Vallette juga memberi perubahan besar bagi para pendukung Juve. Revolusi yang bertujuan untuk menjadikan atmosfer stadion menjadi lebih mendukung bagi Juventus. Mereka berambisi menjadi kelompok tifosi nomor satu di Italia. Banner Irriducibili selalu hadir dimanapun Juve bertanding. Simbol mereka adalah “tangan saling bergandengan mengelilingi dunia”. Seperti Fighters, Irriducibili Vallette juga terdiri dari beberapa bagian. Dua kelompok dari Swiss, Zurigo dan Lugano bersama dengan Ponente, Marche, dan Milano dari Italia. Grup ini menyatakan diri tidak berpolitik.
Saat Ini
Pada saat ini, Curva Sud dari Stadio Olimpico di Torino menjadi area utama pendukung terorganisir Old Lady dipertandingan kandang. Mereka terdiri dari kelompok-kelompok pendukung saat ini seperti,kelompok Drughi yang memimpin di La Curva Sud , Viking Juve, Arditi, Nucleo 1985, 06 Clan, Noi soli, Gruppo Marche 1993 (GM), Bruxelles Bianconera (pendukung dari Belgia dan Luxemburg ), Gruppo Homer (GH), Assiduo Sostegno dan Bravi Ragazzi (didirikan oleh mantan anggota Irriducibili).Kelompok Fighters, kelompok Juventus terkemuka yang terletak di La Curva Nord di stadion yang sama, telah berubah namanya menjadi Tradizione Bianconera tahun 2005.
Kelompok Tifosi Lainnya
Noi Soli
Noi Soli dibentuk musim 2002/03 oleh mantan anggota kelompok ultras bersejarah, Viking dan N.A.B. Nama Noi Soli berasal dari tulisan di belakang scarf Viking N.A.B yang berarti “Hanya Kami” atau “Kami Sendiri”. Kelompok ini dibentuk oleh 10 orang, dan selama 2002/03 Noi Soli menempatkan diri di La Curva Nord. Kelompok ini mengawalinya dengan keras dan beradu argumen dengan beberapa grup pecahan Irriducibili Valette saat partai Juventus vs Newcastle.
Setelah satu musim yang berat, Noi Soli terus pantang menyerah. memulai 2003/04 anggotanya telah bertambah menjadi 52 orang. Mereka diizinkan oleh Fighters untuk memasang banner mereka di lantai pertama La Curva Scirea, tepat di sebelah banner Nucleo. Hubungan dua klub supporter itu berlangsung baik. Noi Soli mempunyai jumlah pendukung yang lumayan banyak di setiap pertandingan Juve musim itu. Simbol mereka adalah Warrior, pejuang, yang merefleksikan mereka sebagai pejuang yang mengikuti Juventus. Noi Soli menyukai seragam Juve dan target mereka adalah mendapat citra yang bagus di seluruh Italia.

Viking
Kelompok bersejarah ini berdiri kembali dan kini mereka menjelajahi stadion-stadion Italia. Mayoritas mantan anggota kelompok supporter ini bereuni tahun 2003 dan sepakat untuk menghidupkan kembali grup ultras bersejarah ini. Anggotanya kini hampir sama seperti sebelumnya, kecuali empat pemimpinnya yang kini tak lagi menjadi bagian dari grup. Empat pemimpin itu bertengkar satu dengan lainnya karena masalah ekonomi dan merusak suasana grup. Meskipun banner Viking masih sama dengan yang lama, tetapi karena hubungan buruk dengan polisi dan klub, mereka cuma memasang banner di pertandingan away. Mereka dilarang menampilkannya di Delle Alpi. Viking mencoba menguasai kembali La Curva Nord, tapi klub dan polisi tidak mengizinkannya.
Kelompok superter terbesar,Fighters sempat mengundang mereka untuk bergabung ke La Curva Scirea agar kedua kelompok ini berhubungan baik dan bersama mendukung Juventus. Mantan pemimpin Viking kabarnya tidak suka menyadari kalau kini Viking bersahabat dengan rival mereka, Fighters. Namun jaman telah berubah. Viking tidak memiliki kekuatan dan anggota seperti ketika berjaya selama 10 tahun dahulu. Mereka bahkan harus berkolaborasi dengan kelompok-kelompok kecil lain untuk survive. Dulu mereka disegani baik oleh sesama supporter juve maupun supporter lawan, oleh klub maupun polisi. Irriducibili Vallette bisa menguasai La Curva Nord hanya setelah Viking pecah tahun 1998.
Viking terpecah karena masalah internal.Viking merupakan kelompok paling radikal, paling ditakuti, dan penuh muatan politis dalam sejarah Juventus. Kelompok ini didirikan oleh anak-anak muda dari Milano. Mereka lalu berkerjasama dengan N.A.B yang beranggotakan tifosi dari Pavia dan Genoa. Orang salah menyebut mereka sebagai Viking N.A.B ketika ada 10 orang anggota N.A.B bergabung dengan Viking.Namun anggota kelompok ini selamanya menyebut mereka sendiri sebagai Viking.
Bruxelles Bianconera
Dibentuk tahun 2001, Bruxelles Bianconera menambah warna baru di La Curva Scirea. Orang-orang Belgia ini berkelana ke seluruh Eropa kemanapun Juve bertanding. Tidak ada fans Juve lain yang pernah berjalan sejauh yang dilakukan kelompok ultras ini. Bruxelles Bianconera terkenal diantara tifosi Juve lainnya dan kini mereka pun dihormati. Mereka terkenal atas atas apa yg telah mereka lakukan untuk terus mengingat tragedi Heysel. Bruxelles Bianconera memiliki tempat di Brussels, Charleroi, Mons, Liege dan Luxembourg. Musim 2004/05 Bruxelles Bianconera menempatkan banner mereka di tingkat pertama La Curva Scirea bersama Noi Soli dan Nucleo Armato Bianconero. Musim 2005/06 banner mereka dipindah ke tingkat tiga bersama Nucleo.
CIAO DINO !

Dino Rivoli adalah salah pemimpin legendaris Drughi. dia mati ditikam oleh salah seorang ultras,Ketika Viking, Nucleo, ultras ex-Fighters dan Drughi terlibat bentrokan tahun 2006 setelah game persahabatan vs Alessandria.
Dino dan Drughi memang dimusuhi oleh anggota Viking, Fighters dan Nucleo, mungkin karena masalah kekuasaan di Curva Scirea (Sud)
sebenarnya nama Dino sudah menjulang saat dia ditangkap Polisi karena kasus pembunuhan dan perampokan thn 1989, dan saat itu dia sudah menjadi leader dari Drughi
Kita tidak akan hanya menemukan banner Ciao Dino di kandang Juventus, tapi di kalangan ultras-ultras lain di Italia, nama Dino adalah nama yang sudah mendapat tempat di hati mereka


BEPPE ROSSI
Banner Beppe Rossi selalu terbentang di setiap partai kandang Juventus, 
Beppe Rossi dianggap sebagai founder dari super grup tifosi Juventus yg pertama dan legendaris yaitu Black & White Fighters Gruppo Storico yg dibentuk tahun 1977

Dan saat itu mereka menempati salah satu Curva terkenal di Comunale (Olimpico Turin saat ini) nama kurva tersebut adalah Filadelfia 

Grup ini merupakan sebuah kelompok yang sangat keras sehingga julukan Fighters melekat kepada mereka, berbagai peristiwa bentrokan mewarnai kelompok ini, seperti bentrok dengan fans Torino, Fiorentina, dll
Sehingga membuat mereka menjadi kelompok yang terkenal dan di takuti sekaligus kelompok yg di "musuhi" polisi

Grup ini kemudian vakum karena berbagai masalah dengan pihak berwajib di Italia khususnya di Turin
Dan akibatnya grup ini kemudian "menghilang" dan muncul kembali dengan nama baru "DRUGHI".




Warisan Terbesar Keluarga Glazer Adalah FCUM

0 komentar

Warisan Terbesar Keluarga Glazer Adalah FCUM
Selain trofi dan hutang, warisan terbesar Malcolm Glazer  lainnya adalah FC United of Manchester (FCUM). Sebuah klub yang lahir sebagai bentuk aksi protes suporter Manchester United  kepada sang pemilik baru.
Memang, bersama Malcolm Glazer, Manchester Unitedmeraih segalanya. Mereka menjuarai Liga Inggris, mereka menjuarai FA Cup, mereka juga menjuarai Liga Champions, bahkan mereka juga menjuarai Piala Dunia Antarklub. Tapi nyatanya, prestasi itu dibangun dari obligasi dan hutang dari bank dengan aset klub sebagai agunannya.
Miris, memang. Tapi memang begitulah keadaannya. Sejak Glazer berhasil mengakuisisi MU pada tahun 2005, Setan Merah tak pernah keluar dari lilitan hutang.
Pasalnya, dana sebesar 790,3 juta poundsterling yang dikeluarkan Glazer untuk membeli United, 265 juta poundsterlingnya didapat dari berhutang. Dan lebih ironisnya lagi, keluarga Glazer mengakuinya pada tahun 2010, 500 juta poundsterling lainnya dari dana akuisisi tersebut didapat dari obligasi (surat hutang yang ditanggung oleh negara). Dengan demikian, sebenarnya keluarga Glazer hanya mengeluarkan dana sebesar 25,3 juta poundsterling untuk bisa mengambil alih tampuk kepemimpinan Setan Merah.
Inilah yang kemudian ditentang oleh para suporter, karena Glazer akan menjadikan United semakin komersil. Mereka sadar, beban hutang sebesar itu, pastinya akan dibebankan di pundak para suporter. Dari penjualan tiket pertandingan, dari penjualan marchendaise klub. Dan juga dari sponsor, tentunya.
Adalah Jim O’Neil seorang ekonom Goldman Sachs beserta kelompoknya, Red Knights, yang pernah melakukan pendekatan dan ingin membeli saham United. Namun, keinginan mereka ini ditolak mentah-mentah oleh keluarga Glazer. Mereka lebih memilih untuk mencengkram 90% saham klub dan melempar 10% sisanya ke lantai bursa saham New York, ketimbang menjualnya ke kelompok suporter.
Maka tak heran jika dibawah kendali Glazer, MU dibawah kendali Glazer selalu dituntut untuk selalu berprestasi setiap tahunnya. Hal itu semata untuk menjaga stabilitas harga saham United di lantai bursa saham.
Lahirnya FC United of Manchester
Red Knights dan mereka yang tak mau ikut membayar hutang Glazer, akhirnya sepakat untuk membentuk sebuah klub sendiri. Sebuah klub yang nantinya dikenal dengan sebutan FC United of Manchester (FCUM).
Untuk menjaga momentum protes, Red Knigts meminta bantuan Kris Steward, pendiri AFC Wimbeldon. AFC Wimbeldon sendiri adalah klub bentukan suporter Wimbeldon FC, setelah klub pujaannyaa memutuskan untuk pindah homeground ke Milton Keynes dan berganti nama Milton Keynes Dons (MK Dons).
Atas bantuan Kris Stewart inilah, kemudian Red Knigts sepakat untuk membentuk FCUM, pada Mei 2005. Sebuah klub yang hidup dari partisipasi para suporter. Jauh dari kesan komersil dan terjangakau oleh semua kalangan, baik tiket maupun marchendaise-nya.
Setelah menyelesaikan urusan pembentukan klub, pada 22 Juni 2005, mereka lalu menunjuk Karl Marginson sebagai pelatih pertama. Sembari menunggu Karl menyiapkan tim untuk melakukan pertandingan perdana melawan Leigh RIM yang sedianya dilangsungkan pada 16 Juli 2005, sekitar 4.000 suporter menggalang dana untuk biaya operasinal tim. Dari pengumpulan dana tersebut, terkumpul 100.000 poundsterling yang kemudian dijadikan modal FCUM untuk mengarungi  North West Counties League Division Two,  kompetisi kasta ke-10 Liga Inggris.
Memang, pada pertandingan pertama mereka, melawan Leigh RIM, berakhir dengan skor imbang, 0-0. Namun, nyatanya pertandingan yang disaksikan oleh 2.552 pasang mata itu, disambut gegap gempita oleh suporter FCUM. Setelah pertandingan usai, mereka semua turun ke lapangan, merayakan kelahiran sang pahlawan baru. Merayakan sebuah “kemenangan” yang tak mungkin bisa mereka rasakan jikalau masih mendukung Setan Merah.
Ya, FCUM memang anak haram dari Manchester United. Namun, yang perlu dicatat, FCUM lahir dari sebuah kesadaran. Kesadaran para suporter yang enggan tunduk pada penguasa yang lalim. Kesadaran bahwsanya, kampanye “Love United, Hate Glazer” tak akan berarti apa-apa tanpa sebuah aksi nyata.
Kini, setelah delapan tahun berkompetisi, FCUM sudah berada di Northern Premier League Premier Division, kompetisi kasta ke-7 Liga Inggris. Jelas, FCUM masih jauh dari Premier League, namun suporter mereka juga tak mengeluhkan hal ini. Mereka tetap setia dan bangga dengan klub yang mereka dirikan dan mereka dukung.
Dan semoga, kita semua dapat berumur panjang, sehingga bisa menyaksikan pertandingan antara FCUM melawan MU. Entah itu di Premier League, League Cup, ataupun FA Cup. Sebuah pertandingan yang sarat makna, bukan?

Menyaksikan Langsung Idealisme FC United of Manchester

0 komentar

Siang itu cuaca di pusat kota Manchester cukup nyaman. Meski terhitung masih musim panas, terik matahari hampir tak terasa. Panas matahari diredupkan oleh semilir angin yang sejuk. Cuaca seperti ini serupa undangan bagi warga kota keluar rumah untuk berbagai keperluan: belanja, makan siang dengan keluarga, atau sekadar berjalan-jalan di taman. Sebagian yang lain, termasuk saya, antusias menikmati cuaca yang sangat bersahabat itu dengan menonton pertandingan sepakbola.
Saya masih setia menunggu bis di sebuah halte kecil. Karena hari itu akhir pekan, tak banyak bus yang beroperasi. Jadi para calon penumpang mesti sabar menunggu. Ketika bis yang ditunggu akhirnya merapat juga, saya masih harus bertanya pada supir bis untuk meyakinkan destinasi.
Are you passing the Broadhurst Park?” yanya saya.
Supir itu tak langsung menjawab, ia mencoba mengingat-ingat sejenak. Lalu ia menjawab: Yes. But you need to take a walk around the green field.
No problem,” balas saya.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore lewat beberapa menit saat saya sudah berjalan menuju stadion. Suara riuh suporter sudah mulai terdengar jelas. Pertandingan pasti sudah dimulai. Saya lekas mempercepat langkah agar tak terlalu banyak ketinggalan pertandingan seru itu. Tak lupa mengeluarkan syal kebanggaan dari dalam tas dan mengalungkannya di leher.
Bagaimana saya mendapatkan syal ini punya cerita tersendiri. Alkisah dua bulan lalu, saya sempat mengunjungi Broadhurst Park. Ternyata stadion masih dalam pembangunan dan pengunjung dilarang masuk. Tak ingin pulang dengan tangan hampa, saya mencoba mengelilingi stadion untuk mencari tempat membeli souvenir. Di jalan, saya bertemu dengan seorang lelaki paruh baya dengan syal klub di lehernya.
Spontan saja saya bertanya, Excuse me, Sir. Could you tell me where to buy the clubs souvenir?
Well, theres no official store to be honest,” jawabnya.
Saya merasa agak kecewa sambil menceritakan maksud kedatangan saya.
But you can follow me to the stadium,” katanya mencoba memperlihatkan jalan keluar.
Pria ini jadi bukti bahwa sebagian besar orang Inggris memang ramah. Tak disangka, ia justru mengajak saya masuk ke area stadion. Menjaga jarak dengan konstruksi bangunan, ia menceritakan sedikit tentang sejarah stadion ini dan bahkan mengundang saya untuk datang ke pertandingan pembukaan melawan Benfica di bulan Mei.
Setelah bicara beberapa saat, saya baru sadar ternyata dia adalah salah satu penggagas klub dan memang tengah mengontrol pembangunan stadion! Mengakhiri pertemuan kami, tiba-tiba dia melepas syalnya lalu memberikannya pada saya.
Take it. Now youre officially a fan!
Sumringah sekali saya menerimanya.
I guess I may be the first Asian fan of this club!” balas saya bersemangat.
Most possibly,” jawabnya singkat sambil tertawa.
Begitulah cerita lain perihal bagaimana saya bisa mendapatkan syal yang sekarang sudah melingkar di leher.
Saya sendiri memang terlambat datang. Pertandingan sudah dimulai. Sampai di depan stadion, beberapa gerbang masuk sudah tertutup. Kemudian, seorang petugas berompi kuning menunjukkan arah gerbang masuk yang masih dibuka.
Over there,” sahutnya sambil menunjuk sisi utara stadion.
Membayar hanya 9 pounds (sekitar 200 ribu rupiah), saya dipersilakan masuk melalui sebuah pintu berputar kecil. Tak ada tiket dan pengecekannya. Maklum, yang saya tonton bukanlah klub tenar dan kaya seperti Manchester United atau Manchester City.
Sampai di dalam, suporter di tribun barat tak henti-hentinya bersahut All hate Glazer! All hate Glazer!
Ya, hari itu saya berada di stadion Broadhurst Park, kandang FC United of Manchester, (FCUM) sebuah kesebelasan kecil yang didirikan oleh, dari dan untuk para pendukungnya. Kesebelasan ini didirikan oleh para suporter fanatik nan tradisional dari Manchester United.
Didirikan pada 2005, FCUM menjadi jalan keluar atas kemuakan suporter fanatik Setan Merah terhadap kebijakan Man United yang terlalu mengomersilkan Setan Merah dengan meninggikan harga tiket dan mengganti jadwal pertandingan seenaknya demi keuntungan finansial dari televisi. Mereka juga risih dengan para suporter “baru” yang hanya duduk di stadion tanpa passionmendukung klub.
Juga, dan terutama, karena tak suka kesebelasan kesebelasan yang sudah mereka dukung sejak kecil, sejak kakek buyutnya, tiba-tiba saja dimiiki oleh orang asing yang jelas hanya berpikir bisnis dan tak peduli dengan ingatan dan sejarah. Dibeli dengan hutang pula, sehingga suporter yang akhirnya harus membayar hutang itu melalui tiket dan berbagai merchandise. (Baca: Hutang-hutang Malcolm Glazer)
We feel thats enough!” tutup seorang suporter yang menceritakan cerita singkat berdirinya FCUM.
Bagi mereka, para pendiri FCUM, bukan mereka yang telah meninggalkan Man United. Tapi justru Man United-lah yang telah meninggalkan identitasnya, dan dengan demikian juga meninggalkan para suporter fanatik yang menganggap Man United lebih dari sekadar kesebelasan sepakbola, lebih dari sekadar tambang uang — namun darah, DNA, ingatan, identitas dan sejarah keluarga.
Hari itu, ada ratusan pertandingan serentak dilaksanakan di berbagai penjuru Inggris. FC United, julukan klub, bertanding di level National League North. Kalau dilihat dari piramida sepakbola Inggris, liga ini berada di level ke 6 – atau kedua dari bawah.
Saya bebas berdiri di mana saja, bahkan bisa berjalan mengelilingi stadion yang hanya berjarak dua langkah dari garis lapangan. Pemandangan yang biasa di stadion-stadion Inggris juga tampak di sini. Mulai dari anak kecil hingga orang-orang tua turut menikmati jalannya pertandingan. Hampir semua dari mereka mengenakan syal, topi, atau jersey kebanggaan FC United. Tempat duduk hanya disediakan di tribun utama. Itupun jumlahnya amat terbatas dan memang sepertinya dikhususkan untuk para suporter yang berusia lanjut dan keluarga.
FCUM berdiri dengan prinsip kepemilikan bersama oleh setiap suporter dan menjamin akses menonton sepakbola yang murah bagi semua. Dan itu benar-benar terasa di dalam stadion berkapasitas 4400 orang ini. Memang hanya dua tribun yang terbangun, tapi atmosfir di dalamnya jelas tak kalah dengan Old Trafford atau Etihad Stadium.
fcum3
Sepanjang pertandingan, suporter di tribun barat tak lepas mengibarkan bendera dan meneriakkanchants untuk menyemangati tim. Umpatan untuk pemain lawan tentu jadi menu utama pula. Salah satu fan di belakang tiba-tiba menepuk pundak saya dan berkata seraya tertawa:, Mate, we are the real fan!
Entah apa maksudnya, saya juga kurang yakin. Mungkinkah ia menyindir fans klub lain? Mungkin saja.
FC United mengenakan seragam kebanggaan warna merah dan Tamworth, lawannya, dengan kostum putih. Sayap kanan Tamworth, Elliot Durrell, berhasil mencuri gol di awal-awal pertandingan setelah bermain satu dua sentuhan dengan kapten Paul Green di depan kotak penalti. Menit ke 27, pemain belakang FC United, Luke Ashworth, menyamakan kedudukan dengan menyelesaikan umpan manis bek kiri andalan yang juga kapten kesebelasan, Jerome Wright.
Praktis setelah kedudukan imbang, kedua tim tampak berhati-hati untuk mengembangkan serangan. Kedua tim mengandalkan serangan dari sayap dengan pakem 4-4-2. Beberapa peluang matang FC United di depan gawang James Belshaw belum dapat dimanfaatkan dengan baik sementara tim tamu hanya sesekali mengandalkan serangan balik. Babak pertama pun ditutup dengan kedudukan imbang 1-1.
Babak kedua dimulai tanpa ada pergantian pemain. Di tengah-tengah pertandingan, announcer lewat pengeras suara mengumumkan jumlah penonton yang mencapai 3580, rekor di musim ini. Pengumuman yang langsung disambut riuh tepukan dan sahutan suporter seisi stadion.
FC United lebih berinisiatif menyerang di babak kedua. Beberapa kali penetrasi sayap kanan, Craig Lindfield, membuat pertahanan tim tamu kocar kacir. Tendangan sudut yang disambut Lindfield nyaris saja membuat tuan rumah unggul. Sundulan pemain belakang Greg Daniels di depan gawang berhasil diselamatkan dengan gaya Gordon Banks oleh Belshaw. Semua orang di stadion menaruh tangannya di kepala dengan tatapan tak percaya. Peluang dengan probabilitas 99 persen menjadi gol ini pun hanya berbuah tendangan sudut.
fcum2
Spanduk Makin Friends Not Millionaires” menjadi ornamen menarik di stadion siang itu. Di tengah laga yang cukup berjalan monoton, membidik raut wajah suporter FC United lewat kamera memberi kesenangan tersendiri. Wajah-wajah serius menghiasi sudut-sudut tribun. Tua muda, pria, perempuan berbagi passion yang sama untuk klub yang didukungnya.
Peluang-peluang yang tak berujung gol membuat pemain-pemain FC United sedikit frustasi. Tak terkecuali penonton. Ketika Wright dijatuhkan di sisi kanan kotak penalti tanpa dianggap pelanggaran oleh wasit, umpatan-umpatan kasar pun bermunculan. You f****n saw that, ref!
Saya pun cukup terkejut ketika melihat ke belakang dan menyadari ternyata yang mengumpat tadi adalah seorang kakek dengan kerutan yang amat kentara di wajahnya. Jika para suporter memiliki kasta, mungkin kakek ini sudah berada di kasta tertinggi.
Puncaknya, Wright pun harus diusir wasit karena dengan konyolnya menendang bola keluar sebagai protes pada keputusan wasit. Sangat mungkin ia terpengaruh emosi penonton. Dengan kekurangan pemain, praktis FC United pun lebih berhati-hati dalam menyerang. Pemain belakang lalu dimasukkan dengan mengganti seorang pemain depan untuk mengisi pos bek kiri yang ditinggal Wright. Tak selang berapa lama, giliran pemain belakang Tamworth yang diusir wasit setelah mendapat kartu kuning kedua. Keputusan yang langsung disambut tepuk tangan penonton.
Pertandingan tinggal bersisa dua menit lagi saat FC United diberi tendangan bebas di sisi kiri pertahanan Tamworth. Sayang, sundulan striker Rory Fallon hanya berujung di samping gawang. Pertandingan pun berakhir dengan skor imbang 1-1. Satu poin dari tiga pertandingan jelas bukan awal yang bagus untuk FC United menjalani musim baru.
Meski begitu, penonton masih setia meneriakkan chants sebagai apresiasi usaha para pemain. Para pemain pun mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu bertepuk tangan tanda terima kasih atas dukungan tanpa henti mereka sepanjang pertandingan.
fcum4
Selepas pertandingan, para penonton beranjak meninggalkan stadion. Sepasang suami istri berusia lanjut masih setia menunggu di pinggir lapangan sambil memandangi para pemain masuk kembali ke ruang ganti. Pemandangan langka yang jadi cermin fanatisme sepakbola di Inggris telah menembus berbagai batas, termasuk usia. Stadion kecil ini menjadi saksi bagaimana idealisme sepakbola bertahan dan terus berkembang.
Impian untuk menjadi klub yang disegani memang masih amat jauh bagi FC United. Ambisi dalam satu dua dekade ke depan untuk masuk ke jajaran klub elit di pusaran uang EPL bahkan terlalu ambisius. Tapi tak ada yang tidak mungkin di sepakbola.
Fondasi tentang sepakbola dari, oleh dan untuk suporter telah kental di sini. Suporter mendukung klub bukan karena popularitas atau pemain bintang. Rasa kepemilikan itulah yang menjadi perekat mereka, seperti sepasang suami istri berusia lanjut tadi.
We want to play against United in the Premiership!” ujar seorang suporter tentang mimpinya untuk FC United.