Suporter memang tak pernah mendapat tugas untuk merebut bola ataupun mencetak gol. Mereka tak perlu bersusah-payah di atas lapangan demi memenangkan satu pertandingan.
Walau tak terlibat secara langsung dalam pertandingan, suporter adalah salah satu elemen utama dalam sepakbola. Pada dasarnya, suporter sepakbola dibentuk oleh komunitas atau kelompok masyarakat yang berisikan individu – individu yang memiliki kesamaan daerah tempat tinggal, identitas, hasrat, pandangan politik, dan kelas sosial berkumpul.
Individu–individu ini berangkat dari naluri mereka sebagai makhluk sosial. Setelah rutinitas harian mereka, setelah mereka menghidupi diri sendiri dan keluarga mereka, tiba saatnya individu-individu ini lapar akan hidangan yang disajikan oleh sosiolog Charles Horton Cooley yang mengatakan bahwa individu dan masyarakat saling melengkapi, di mana individu hanya akan menemukan bentuknya di dalam masyarakat.
Kemudian di tengah atau di akhir pekan, mereka pergi sendiri atau pergi dengan anaknya yang sudah didoktrin, pergi ke stadion layaknya mesjid di hari jum’at, sinagoge di hari Sabtu atau gereja di hari Minggu. Berkumpul dengan individu lain yang senasib dengan mereka, untuk mengenang sejarah, melihat proses sejarah, atau bermimpi tentang sejarah di masa datang.
Namun ritual “kesepakbolaan” mereka bisa saja mendapat cobaan, seperti Portsmouth FC, klub yang berkandang di Fratton Park, Portsmouth, ini. Pada 26 Mei 2009, mimpi mereka akan kejayaan klub muncul setelah Portsmouth diambil alih oleh seorang pengusaha berkebangsaan UEA, Sulaiman Al Fahim. Bukannya awal kejayaan di dapat oleh suporter tetapi malah awal sebuah era kegelapan yang mereka alami.
Mulai tahun 2009 sampai 2013, klub ini beberapa kali mengalami pergantian kepemilikan. Bersamaan dengan itu, Portsmouth juga didera masalah finansial. Akhirnya, pada 19 April 2013, beberapa kelompok suporter yang tergabung dalam Porthsmouth Supporter Trust (PST) berinisiatif untuk mengambil alih kepemilikan demi menyelamatkan klub kebanggaan mereka.
Di daratan Britania lainnya, Manchester memiliki klub yang juga dikelola dan dijalankan oleh suporternya sendiri. Berbeda dari Portsmouth FC yang dipengaruhi kebangkrutan, FC United of Manchester didirikan oleh mantan suporter Manchester United pada tahun 2005 akibat ketidakpuasan atas pengambilalihan oleh Malcolm Glazer. Mereka berasumsi bahwa klub pujaan mereka akan terlilit utang karena Glazer Group menaikkan harga tiket di Old Trafford untuk menutupi pinjaman di anak perusahaannya yang lain.
Setelah sekian tahun hidup nomaden, pada 29 Mei 2015, FCUM resmi memiliki kandang baru di Broadhurst Park Stadium. Stadion yang berada di wilayah Moston ini juga didirikan secara swadaya oleh para suporternya. Saat ini FC United akan bersiap mengarungi National League North di musim 2015-2016. Di Inggris Raya, bukan hanya Portsmouth FC atau FC United of Manchester saja klub yang dimiliki oleh suporternya sendiri. AFC Wimbledon, Wrexham AFC, Wycombe Wanderers FC adalah beberapa contohnya.
Bisa dikatakan, kelompok suporter dari klub sepakbola membutuhkan identitas sebagai alat untuk mengukuhkan atau mempertahankan eksistensi mereka dari kelompok-kelompok lain melalui kebanggaan sejarah klub, prestasi klub, hingga kebanggaan teritori. Misalnya seperti yang terjadi di Austria. Nasib sial dialami oleh suporter SV Austria Salzburg karena pada 6 April 2005 lalu, klub tercinta mereka di akuisisi oleh perusahaan Red Bull. Perusahaan Austria yang bergerak di bidang minuman berenergi ini mengubah sejarah-sejarah yang tercipta, mulai dari nama klub menjadi FC Red Bull Salzburg, jajaran manajemen hingga warna kostum tim.
Para suporter yang tidak terima, kemudian mendirikan klub baru yang dinamai sama SV Austria Salzburg dan mempertahankan warna kebesaran mereka. Di Austria, hanya ada dua klub, di antaranya Violette -julukan SV Austria Salzburg- dan SK Rapid Wien yang dimiliki oleh suporternya sendiri.
Jika kembali lagi ke dataran Inggris, dilansir oleh The Guardian, pemilik Hull City Assem Allam berniat mengubah nama klub menjadi Hull Tigers. Setelah tahun lalu ditolak FA Council, kini Allam berniat mengajukan kembali aplikasi perubahan nama klub miliknya pada FA, sontak para pendukung The Tigers kembali mendemo kebijakan yang akan menghapus identitas mereka.
Lain Hull City, lain juga Cardiff City. Pemiliki klub yang juga merupakan pengusaha asal Malaysia, Vincent Tan, pada musim 2014/2015 mengambil kebijakan kontroversial dengan mengubah kostum kandang menjadi dominasi warna merah. Suporter yang tak terima dengan kebijakan ini pun bersuara, akibatnya mulai musim 2015/2016, Cardiff akan kembali berkostum biru.
Sebagaimana di Spanyol, FC Barcelona dan Real Madrid dapat menjadi contoh klub yang dimiliki suporter, yang mengajarkan bagaimana kehidupan sepakbola itu berjalan. Kebanggaan identitas, teritori dan idealisme, pada akhirnya melahirkan kebanggaan prestasi. Athletic Bilbao, klub La Liga yang musim 2014/2015 menduduki urutan tujuh ini mempunyai lebih dari 33.000 anggota klub yang secara regular mengikuti pemilihan presiden klub. Bahkan The Leones-julukan Athletic Bilbao- tidak akan mengizinkan pemain di luar keturunan Basque untuk membela panji-panji klub yang saat ini dipimpin Presiden Jose Urrutia ini. Aturan tersebut dikenal dengan nama cantera.
Lain halnya yang terjadi di Jerman. DFL (Operator Liga Jerman) dan undang-undang tidak mengizinkan sebuah klub dimiliki mayoritas oleh individu atau sebuah perusahaan. Hak kepemilikan klub diserahkan pada anggota klub sebanyak 50% + 1 agar mendapat lisensi bermain di Bundesliga dan 2.Bundesliga.
Sesuai aturan yang dibuat bersama-sama oleh DFL dan pemerintah Jerman, klub yang terdaftar harus memiliki minimum tujuh orang anggota yang mengontrol dan mengelola klub. Hal ini bertujuan untuk memproteksi klub-klub supaya terhindar dari pemilik yang tidak tepat.
Jerman memperlakukan suporter sepakbola seperti raja. CEO Borussia Dortmund, Hans Joachim Watzke menjelaskan kalau tiket murah dan kendali suporter atas klub merupakan bagian dari budaya sepakbola Jerman. Lewat apa yang dikerjakannya, ia tak ingin suporter kehilangan romantisme dan budaya tersebut.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Pada era Galatama, banyak klub yang dimiliki oleh satu orang atau perusahaan, seperti Warna Agung dimiliki PT.Warna Agung, Pardedetex dimiliki pengusaha TD.Pardede, Arseto FC dimiliki Sigid Harjoyudanto. Kala itu, klub-klub Indonesia mirip dengan AC Milan yang lekat dengan kepemilikan keluarga Berlusconi ataupun Napoli yang dimiliki oleh Aurelio De Laurentiis.
Sepakbola, termasuk di Indonesia, seharusnya linier dengan kultur masyarakat. Sebagai olahraga yang berkembang menjadi budaya, sepakbola seharusnya juga berorientasi kepada suporter, bukan melulu kepada pemilik modal ataupun penguasa oligarki. Tak ada yang membantah kalau gelontoran uang bisa membikin seseorang atau satu perusahaan membeli dan mengendalikan klub. Namun bagaimanapun juga, di antara suporter dan klub, selalu ada hal yang tak terbeli oleh uang sebanyak apapun.
0 komentar:
Posting Komentar