Salah satu pertandingan sepakbola yang wajib ditonton, minimal sekali, sebelum mati adalah River Plate vs Boca Juniors.
Coba simaklah apa yang terjadi pada 26 Juni 2011. Dalam laga hidup mati yang menentukan nasib River Plate, mereka dikalahkan oleh Belgrano. Akibatnya, salah satu raksasa sepakbola Argentina dan Amerika Latin ini harus terdegradasi.
Ada dua reaksi hebat. Pertama, sudah pasti datang dari pendukung River. Di sisi utara Buenos Aires, basis utama pendukung River, terjadi kerusuhan hebat antara para pendukung itu dengan pihak kepolisian. Seorang pendukung kedapatan tewas, dan ada sekitar 90 orang terluka serius.
Polisi yang mengerahkan mobil water canon sampai gas air mata bahkan peluru karet gagal meredam emosi para pendukung River yang marah. Alih-alih meredakan, amuk malah makin menghebat. Kerusuhan yang bermula hanya di sekitaran stadion akhirnya meluas ke berbagai penjuru kota.
Pemerintah Argentina, melalui Departemen Pertahanan yang dipimpin oleh menteri Nilda Garre, terpaksa mengumumkan bahwa Buenos Aires dalam keadaan darurat. Negara sampai mengerahkan lebih dari 2 ribu polisi untuk mengamankan amuk suporter.
Amuk ini memang agak bisa dipahami. Untuk pertama kalinya, sejak berdiri pada 1901, baru kali ini River harus turun kasta. Ini aib yang luar biasa memalukan bagi pemilik (saat itu) 33 kali gelar juara Primera Division.
Reaksi kedua justru sangat bergembira. Bukan, ini bukan reaksi pendukung Blaugrana, tapi justru pendukung yang hari itu tidak ikut berlaga: para pendukung Boca Juniors.
Di basis pendukung Boca, tepatnya di sekitar Distrik Nunez yang jaraknya sekitar 15 kilometer di selatan Bueno Aires, para pendukung Boca tumpah ruah ke jalanan. Mereka bergembira, bersuka cita, berkonvoi dan bersenang-senang seakan-akan Boca baru saja merengkuh gelar Copa Libertadores. Tidak, mereka tidak sedang bersenang-senang karena baru memenangkan juara, mereka bersenang-senang atas sesuatu yang mungkin rasanya lebih nikmat dari sekadar juara: merayakan kehancuran River Plate.
Salah satu bentuk perayaan yang tidak akan pernah dilupakan oleh para pendukung River adalah mereka, para pendukung Boca itu, mengarak sebuah peti mati berwarna coklat yang di dalamnya dibujurkan “jenazah” berupa boneka dengan mengenakan jerset River Plate. Peti mati penuh penghinaan itu diarak dengan konvoi. Spanduk besar bertulis “Rip 25 May 1901-26 June 2011″ menegaskan penghinaan mereka pada River Plate: bahwa mereka telah mati.
Fragmen di atas menjelaskan dengan baik bagaimana rivalitas yang terjadi antara River Plate dan Boca Juniors. Sebuah rivalitas sepakbola yang legendaris, melampaui laga Real Madrid vs Barca, Man United vs Liverpool atau Inter vs AC Milan atau antara Rangers dan Celtic di Skotlandia. Jika laga Real Madrid vs Barcelona dijuluki “El Clasico”, laga antara River Plate vs Boca Juniors sampai dijuluki “Super Clasico”. Yang Klasik dari yang Terklasik.
Ada lima klub lain di Buenor Aires yaoti Velez Sarsfield, San Lorenzo, Huracan, Argentinos Juniors dan All Boys. Tapi laga antara dua klub Buenoes Aires lainnya, River vs Boca, melampaui semua laga-laga derby Buenos Aires lainnya itu.
Salah satu alasannya ya karena pendukung dua klub itu memang melimpah ruah, melampaui jumlah pendukung klub-klub lain di seantero Argentina. Berdasarkan hasil survey, lebih dari 31,5 juta jiwa dari 42 juta jiwa penduduk Argentina adalah penggemar River Plate dan Boca Juniors. Dengan detail begini: 40,4 % bersimpati kepada Boca dan 32,6 % mendukung River Plate. Sisanya terbagi untuk klub-klub lain.
Sudah terbayang, bukan, betapa potensi permusuhan bisa sampai sejauh apa?
Sumber :http://panditfootball.com/cerita/kegilaan-dan-kengerian-laga-super-clasico/
0 komentar:
Posting Komentar